Papa, kemarin aku mendengar kabar tentangmu, kau sedang sakit keras! Kau minta agar kami segera datang mengunjungimu di rumah sakit. Papa, kau tahu bahwa aku sempat tak percaya mendengar penderitaanmu saat ini, kau terbaring lemah tak berdaya, tak mampu lagi untuk sekedar berdiri. Papa, raut renta di wajahmu tak bisa membohongi bahwa begitu berat beban hidup yang selama ini kau pikul. Tapi aku bisa apa? Aku hanya sekedar iba dan prihatin atas nasibmu saat ini.
Dimanakah engkau saat kau masih bisa berjalan dengan gagahnya? Kemanakah engkau di saat kau berlimpah materi sedangkan aku menangis rindu dan membutuhkan kehadiranmu? Tak tahukah engkau selama ini aku hidup dalam peluh dan airmata seorang mama yang begitu tegar hidup tanpa kehadiranmu? Tak tahukah engkau di saat kami berteriak kelaparan karena tak memiliki sepeser uangpun untuk membeli makanan. Engkau di mana papa…? Di saat aku melihat kawan-kawan kecilku dulu berlarian mengejar papanya sambil tertawa riang, aku hanya bisa menatap mereka dengan segenap kepedihan. Aku tak pernah menikmati hangatnya pelukan kasih sayangmu, aku terpukul saat menghadapi kenyataan bahwa papa yang kuharapkan menjadi sosok panutan bagi keluarga, pergi begitu saja meninggalkan aku dan mama.
Ingatkah saat-saat itu, papa…? Tak pernahkah sedikit terlintas di benakmu untuk mengunjungiku walau hanya sekejap saja? Tak pernahkah ada sedikit rindu untuk jagoan kecilmu yang di sepanjang waktunya senantiasa menunggu kehadiranmu? Tak pernahkah ada niatmu untuk membiayai sekolahku walau dengan jumlah yang tak seberapa? Semua itu tak pernah aku dapatkan darimu, papa… Dan kini, engkau menangis karena tak kuasa menahan rindumu kepada kami, anak-anakmu. Mengapa rindumu datang di saat kau sedang tak berdaya seperti sekarang ini? Teringatkah engkau akan dosa-dosamu yang telah mentelantarkan anak dan isterimu selama ini?
Papa, mengapa kau pergi meninggalkan kami? Mengapa kau tega membiarkan kami hidup penuh dengan derita dan airmata? Aku tak pernah membayangkan sedikitpun bahwa perceraian yang menimpa kehidupan kalian akan menjadi trauma yang begitu dahsyat dalam jiwaku? Bagaikan sebuah mimpi buruk yang menghiasi perjalanan hidupku. Masih terbayang jelas dalam ingatanku, saat mama berurai airmata mendengar keputusanmu untuk bercerai darinya.
Tak terlukiskan duka yang dalam terpancar dari sosok wanita yang dulu sempat kau cintai. Sejak kecil aku tidak pernah percaya diri di tengah lingkunganku. Aku terkungkung dalam ketakutan besar bahwa mereka di luar sana akan menyakitiku, aku sangat membutuhkan sosok pelindung dalam kehidupanku dan itu tak pernah aku dapatkan darimu. Di saat aku tumbuh remaja, rasa tak percaya diri itupun tak pernah hilang dari diriku.
Tak tahukah kau papa, mengapa aku dulu begitu ketakutan saat aku mulai jatuh cinta pada seorang gadis. Aku sungguh takut! Takut jika nantinya aku akan berbuat hal yang sama sepertimu, pergi meninggalkannya demi gadis lain. Trauma itu hingga kini masih tertanam di benakku. Aku takut menyakiti hati seorang wanita. Aku takut membayangkan gadis pujaanku berurai air mata seperti mama. Rasa nyaman yang selama ini aku impikan dari seorang yang kelak menjadi pendamping hidupku tak kunjung aku temukan. Hubungan demi hubungan yang kujalin selalu kandas di tengah jalan. Aku tumbuh menjadi pria yang tak pernah bisa membiarkan pasanganku melakukan sesuatu sendiri. Protektive, kecemburuan dan rasa frustasi jika tidak dapat menjaga atau menjemput pasanganku selalu menghantui pikiranku. Hal ini sungguh menjadi beban bagi hidupku makin bertambah. Harus kemanakah aku untuk menyembuhkan trauma ini, papa…?
Tak tahukah kau papa, mengapa aku dulu begitu ketakutan saat aku mulai jatuh cinta pada seorang gadis. Aku sungguh takut! Takut jika nantinya aku akan berbuat hal yang sama sepertimu, pergi meninggalkannya demi gadis lain. Trauma itu hingga kini masih tertanam di benakku. Aku takut menyakiti hati seorang wanita. Aku takut membayangkan gadis pujaanku berurai air mata seperti mama. Rasa nyaman yang selama ini aku impikan dari seorang yang kelak menjadi pendamping hidupku tak kunjung aku temukan. Hubungan demi hubungan yang kujalin selalu kandas di tengah jalan. Aku tumbuh menjadi pria yang tak pernah bisa membiarkan pasanganku melakukan sesuatu sendiri. Protektive, kecemburuan dan rasa frustasi jika tidak dapat menjaga atau menjemput pasanganku selalu menghantui pikiranku. Hal ini sungguh menjadi beban bagi hidupku makin bertambah. Harus kemanakah aku untuk menyembuhkan trauma ini, papa…?
Papa, aku tidak membencimu, walau apapun yang terjadi… engkau adalah tetap papaku. Darahmu mengalir dalam tubuhku. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih, senantiasa menjagamu di usia senjamu kini, semoga Tuhan Yang Maha Penyayang mengampuni segala kekhilafanmu di masa lalu. Semoga Tuhan Yang Maha Penyembuh segera mengangkat penyakit yang ada di tubuhmu. Maafkan aku papa, aku tak sanggup untuk menjumpaimu.
1 komentar:
Hai, kenalkan saya Thella. Aku dan teman-temanku membangun sebuah komunitas "Rumah Kedua" yang menjadi wadah bagi anak-anak berlatar belakang broken home untuk saling berbagi cerita, kasih sayang, dan semangat. Selengkapnya bisa kalian cek di http://mrrsforlife.blogspot.com/ . Mohon kabarkan kelahiran komunitas ini ya, aku percaya tak sekedar niat baik yang mendorong kami berbuat tapi juga kesadaran bahwa "Rumah Kedua" ini dibutuhkan. Terima kasih :)
Posting Komentar